Selamat Datang : Blog Pendidikan Global ooooo saya baru belajar, banyak yang tak tahu ... minta tunjuk ajarrrr

Saturday, May 2, 2009

Pendidikan Global

Oleh Ivan A Hadar


APAKAH pendidikan global dalam era globalisasi dimungkinkan? Lebih jelas, apakah hal-hal seperti keadilan sosial, solidaritas atau pembangunan berkelanjutan, dalam era persaingan keras yang menjadi ciri khas globalisasi, masih aktual?

Banyak suara yang pesimistis. Keyakinan tentang "meningkatnya keterbukaan pasar, plus meningkatnya laju pertumbuhan sama dengan meningkatnya lapangan kerja" patut dipertanyakan. Perkembangan dunia terakhir menunjukkan hal yang berlawanan. Selama 20 tahun terakhir, peningkatan produksi global meningkat dari 4.000 menjadi 23.000 milyar dollar AS; tetapi pada saat yang sama, jumlah orang miskin meningkat 20 persen lebih. Porsi 47 negara termiskin dalam perdagangan dunia pun menyusut antara tahun 1960-1990, dari empat persen menjadi tinggal satu persen.

Padahal, nilai perdagangan dunia dari tahun 1974-1995 meningkat dari 479 milyar menjadi 4.940 milyar dollar AS (Beck 1997, Spiegel 1996). Maka, tidak heran ada yang mengatakan, "...yang terjadi adalah marginalisasi negara miskin dalam perdagangan dunia. Negara-negara itu hanyalah objek politik dunia" (Nuscheler 1998, halaman 24). Ternyata, kesenjangan antara yang kaya dan miskin, juga terjadi di negara-negara industri. Karena itu, Ulrich Beck mensinyalir, "Demokrasi terancam bila globalisasi digenjot tanpa kontrol," Ia juga bertanya secara retorika: "Seberapa jauh demokrasi mampu bertahan digerogoti kemiskinan?" (Beck, 1997, halaman 24)

Namun, mungkin sebaiknya kita tidak terjebak dalam sudut pandang reduksionistis, yang melihat segala-galanya dari sudut pandang penindasan dalam "dialektika budak-tuan atau kapitalis-proletariat". Boleh jadi pembedaan antara "globalisasi", "globalitas", dan "globalisme", meminjam rumusan Ulrich Beck, membantu kita untuk keluar dari sudut pandang hitam-putih itu. Globalisme adalah ideologi penguasa ekonomi dunia (welmarktherrshaft) serta kaum NeoLiberalisme yang berpandangan mono-kausalitas, yaitu melihat segala sesuatu hanya dari dimensi ekonomi. Dimensi lainnya terlupakan.

Sementara globalisasi, menurut Beck, adalah proses dengan dampak penyerahan kedaulatan national state (negara nasional) kepada perusahaan transnasional (global players). Dengan jaringan yang kuat dan luas, kekuasaan perusahaan raksasa transnasional ini dari waktu ke waktu semakin mencengkeram. Contoh-contoh aktual gurita jaringan transnasional adalah dalam bidang otomotif, perbankan, dan produsen komputer. Terakhir, globalitas, masih menurut Beck, adalah kenyataan bahwa kita telah lama hidup dalam sebuah masyarakat dunia, di mana ada "kebinekaan tanpa ketunggalikaan".

Sebenarnya, sejak beberapa tahun terakhir, pendidikan global telah mulai menjadi wacana ilmiah di banyak negara. Hal ini dilatarbelakangi upaya untuk tidak melihat kenyataan makin memburuknya kondisi global sebagai hal tak terhindarkan, tetapi adalah tugas kependidikan untuk memperbaikinya. Saat ini, konsep yang diajukan amat heterogen. Apa pun, dua posisi ekstrem, yaitu "pendidikan global sekadar membantu memperkuat jaringan global players" atau sebaliknya "pendidikan global harus diupayakan sebagai penolakan total untuk bersinggungan dengan (proses) globalisasi", tidak boleh terjadi karena tidak realistis dan karena itu tidak bertanggung jawab.

Di antara dua posisi itu ada spektrum luas berbagai kepentingan. Perusahaan raksasa transnasional sadar bahwa pemahaman antarbudaya telah mendongkrak kesuksesan penjualan produknya. Birokrasi (pemerintahan) pun diharapkan sadar, tanpa pemahaman itu, berbagai konflik dan kegagalan pembangunan sulit dihindarkan. Negara berkembang, umumnya, mencemaskan "kolonisasi modern" yang terbawa proses globalisasi. Banyak cendekiawan bernisiatif melawan keyakinan buta tentang pertumbuhan dan pembangunan tanpa batas. Berbagai LSM sepakat dan yakin, globalisasi adalah rekayasa manusia dan karena itu harus terlibat di dalamnya, bila tidak ingin membiarkan proses globalisasi diatur segelintir (pemilik) perusahaan raksasa. Boleh jadi, dalam proses ini, pendidikan global menjadi semacam wadah yang memunculkan etika politik baru yang lebih baik.

Didaktik pendidikan global

Sketsa didaktik berikut ini diharapkan mampu menjelaskan tiga konsep utama dalam pendidikan global. Wolfgang Klafki (1993), misalnya, menuntut bahwa dalam jangka menengah, (mahasiswa seluruh dunia harus diperkenalkan kepada permasalahan kunci dunia modern, yaitu perang dan damai; arti dan masalah prinsip-prinsip nasionalisme dihubungkan dengan pertanyaan tentang keunikan budaya dan hubungan antarbudaya; permasalahan lingkungan, terutama yang berkaitan dengan perubahan kesadaran dan pola hidup; peningkatan tajam pertambahan penduduk bumi; kesenjangan sosial, baik dalam lingkup nasional maupun antarbangsa; bahaya dan kemanjuran teknologi baru serta hubungan antarmanusia dan subjektivitas perorangan.

Secara spontan, upaya pembentukan teori oleh Klafki ini terkesan masuk akal dan karena itu, meski sudah agak lama, masih menjadi acuan menarik. Namun, di situlah masalahnya, karena rancangan teoretis itu terkesan "acak" dan "kebetulan". Karena itu, beberapa pertanyaan kritis berikut patut diajukan untuk menjadi perhatian: bukankah deskripsi tentang berbagai permasalahan kunci mengandung dua bahaya sekaligus? Pertama, bahaya ethnosentuisme yang kemudian tertuang dalam deskripsi yang bias. Kedua, dihadapkan pada kenyataan tentang kompleksitas dan abstraksi permasalahan, deskripsinya akan selalu menjadi terlalu sederhana, bahkan disfungsional. Lebih jauh lagi, apakah betul ada korelasi yang kuat antara pendidikan dan perilaku atau tindakan (yang akan diambil) seseorang? Bukankah tidak realistis mengharapkan perorangan untuk memberikan kontribusinya, mengingat kompleksnya permasalahan dan terbatasnya ruang gerak untuk bertindak? Apa pun, berbagai keraguan itu tidak menafikan tuntutan Klafki agar pendidikan umum saat ini tidak boleh lepas dari wawasan global.

Pertengahan 1990-an, ada sebuah forum "Schule fuer Eine Welt" (Sekolah demi Dunia yang Satu) dari Swis. Lewat diskusi intensif dengan berbagai kelompok aksi, penanggung jawab sekolah-sekolah dan pakar pendidikan, muncul sebuah konsep yang didasari empat Leitideen (ide arahan), yaitu "perluasan wawasan kependidikan", "refleksi identitas", "perubahan pola hidup" dan "hubungan antara lokal dan global". Keempat leitideen itu sedikit banyak mengingatkan kita pada Klafki. Lebih dari itu, forum juga mengajukan seperangkat kategori didaktik dan metode sebagai berikut.

Yang utama berkaitan dengan menschenbild (gambaran manusia ideal), yaitu ia yang otonom dan bertanggung jawab memperoleh pengakuan dan mampu menilai dengan jernih dan etis, berdaya dan terbuka bagi perubahan serta belajar sepanjang hidup. Prinsip-prinsip pendidikan global yang diajukan adalah (cara) berpikir terkait, holistis, refleksi berorientasi pengalaman atau sejarah, orientasi pada aksi, harmoni sosial, serta tanpa kekerasan (nonviolence). Persyaratan untuk mencapai hal itu adalah keterpaduan berbagai institusi dan perencanaan kependidikan, tempat dan suasana belajar, struktur waktu dan metode ajar-mengajar. Dengan demikian, diharapkan tercipta kompetensi dasar manusia yang memiliki sensivitas pengamatan, empati, perubahan perspektif, bertanggung jawab, refleksi diri, kooperatif, kemampuan mengatasi konflik serta berpikir sistematis.

Semua hal di atas mengarah pada sebuah paradigma "satu dunia" sebagai kerangka dasar. Faktor-faktor sosial yang menunjangnya adalah kesadaran tentang saling ketergantungan secara global, perlunya information society, pengakuan tentang eksistensi berbagai subkultur serta kemitraan gender, orientasi masa depan, pembangunan berkelanjutan, pengakuan identitas budaya "kami" dan "mereka", serta perlunya masyarakat berkeadilan. Kelebihan konsep forum "Sekolah demi Dunia yang Satu" ini merupakan sebuah proses diskusi dan inisiatif dari berbagai pihak dan bukan "olah pikir" ilmuwan perorangan. Implikasinya jelas terlihat terutama dalam pengadaan alat pengajaran dan dalam pendidikan guru.

Dua tahun lalu, Hans Buehler mengembangkan konsep pendidikan global yang menekankan pentingnya cara berpikir inklusif, bila tidak ingin sekadar memperluas informasi tentang keterkaitan global. Orientasi (tujuan) pendidikan global, dengan demikian, adalah pergelutan pelaku pendidikan dengan kompleksitas dan ambivalensi permasalahan, serta keniscayaannya untuk mengambil sikap memihak. "Kompleksitas", terutama berkaitan dengan proses globalisasi, menjadi acuan awal. Dalam kenyataan, kompleksitas bukanlah jumlah dari berbagai hal faktual, tetapi sesuatu yang tak jarang ambivalen. Untuk mengerti hal ini, dibutuhkan cara berpikir inklusif. Agar tidak terjebak dalam sikap everything goes, sedapat mungkin kita mengenali serta mengambil posisi memihak mereka yang kalah dalam proses globalisasi.

Pertanyaan demi pertanyaan

Lalu, siapa yang (bisa) dipersalahkan dalam kenyataan semakin meningkatnya ketidakadilan di seluruh dunia? Masa ketika orang dengan jelas bisa membedakan antara "kiri" dan "kanan", setelah runtuhnya Tembok Berlin, telah berlalu. Namun, meski kekuasaan (macht) dan kekerasan (giwalt) semakin sulit diidentifikasi karena menjadi abstrak dan sulit atau bahkan tak mungkin dipersonifikasi, bukan berarti pertanyaan itu lalu menjadi mubazir. Terutama, bila kita bekerja untuk melakukan perubahan sosial menuju masyarakat demokratis. Toh kapitalisme, menurut keyakinan penulis, bukanlah (bentuk) akhir sejarah kemanusiaan, melainkan jenjang antara menuju dunia yang lebih adil. Pendidikan global seharusnya berpegang pada prinsip dasar ini.

Namun, mampukah pendidikan global berperan memecahkan kebisuan mereka yang "bisu" dan dampak lain dari ketidakadilan? Hambatan utamanya, mungkin, hingga kini dan di mana pun masih berlaku ungkapan lama bahwa "pemikiran yang berkuasa adalah pemikiran penguasa" (Marx). Lalu, mampukah pendidikan global menerobos masuk dalam institusi formal dan bergulat dengan pemikiran konservatif, ataukah paling banter hanya menjadi engagement lembaga swasta alternatif atau sebatas kegiatan kependidikan yang dimotori lembaga swadaya masyarakat dan berada di luar sistem formal?

Sebenarnya, keniscayaan kerja sama internasional tidak perlu ber-moto "Kaum yang kalah di seluruh dunia bersatulah!", tetapi murni atas pertimbangan keberadaan bersama sebagai warga bumi yang sedang terancam. Siapa tahu, kerja sama itu akan menghasilkan sebuah perspektif baru bagi umat manusia dalam perjalanan menuju keadaan yang lebih adil dan, dengan demikian, memberikan kesempatan eksistensi yang sama bagi semua.

Pendidikan global tidak akan menjadi pemicu perlawanan, tetapi bisa mempersiapkannya. Apakah hal ini sesuai dengan keyakinan dasar kita bahwa "sekolah adalah benteng pertahanan bagi generasi mendatang?" Ataukah keyakinan dasar itulah alasan utama mengapa sekolah semakin hilang pamornya?

Bila, toh, "keberpihakan dalam menyikapi kompleksitas permasalahan" menjadi kategori sentral dari pendidikan global, sedikitnya ada dua pertanyaan mendasar. Pertama, seberapa banyak kompleksitas bisa dicerna manusia yang berbeda-beda, dan seberapa besar kompleksitas yang bahkan dibutuhkan manusia lainnya agar tidak menjadi yang kalah? Dengan kata lain, seberapa besar kompleksitas dibutuhkan seorang manusia, dan seberapa yang harus dihindari olehnya sebelum ia menjadi senewen karenanya?

Kedua, kita semua tahu, pelajaran di sekolah biasanya tidak memberi ruang bagi eksperimentasi alternatif, tetapi menawarkan solusi. Kita belum berpengalaman dengan metode pelajaran yang nonguru-sentris, yang memberi "ruang fantasi" bagi murid yang selalu ingin tahu, "nakal", lucu, dan kreatif, serta demokratis dalam menyikapi kompleksitas permasalahan.

Ambivalensi dan kevakuman, menurut Ulrich Beck (1996), adalah dua kata kunci yang menandai situasi dunia pascaperang dingin Timur-Barat. Ambivalensi, karena pada saat yang sama terasa lega dan cemas. Sebaliknya, kevakuman berkaitan dengan berkurang atau bahkan hilangnya makna keberadaan institusi (yang menjadi pemenang perang dingin) seperti NATO, ekonomi pasar sosial, serta kedaulatan nasional.

Situasi dunia bukannya tak berpengalaman, tetapi open (tidak berkejelasan) seperti yang belum pernah ada sebelumnya, baik intelektual maupun politis. Di sinilah letak kesempatan pendidikan global untuk berperan mengisinya. Maukah kita memanfaatkannya?

*) Dr Ivan A Hadar, Presiden IDe (Indonesian Institute for Democracy Education), Jakarta.